ilustrasi |
Apabila pertanyaan itu juga diajukan kepada pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Presiden dan Wakil Presiden, menteri-menteri, dan pejabat-pejabat tinggi yang terlibat penuh dalam proses pencetusan gagasan, pendirian, dan pengoperasian Bank Muamalat pada tahap-tahap awal, baik yang masih ada atau yang telah mendahului kita, maka saya yakin jawaban dari pertanyaan itu adalah:
Penyelamatan Bank Muamalat Indonesia oleh Presiden Joko Widodo adalah sebuah keniscayaan.
Terlalu banyak tokoh yang terlibat untuk dituliskan. Di antara mereka semua, sebanyak 36 orang menuliskan Kata Pengantar pada buku yang saya tulis dan terbitkan di tahun 2006, yang berjudul “Bank Muamalat, Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan: Fenomena Kebangkitan Bank Islam”.
Kata Pengantar Kunci ditulis Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Kata Pengantar diberikan oleh antara lain Presiden B.J. Habibie, Wakil Presiden Soedharmono, Wakil Presiden Hamzah Haz, K.H. Ma’ruf Amin (kini Wakil Presiden).
Kata Pengantar juga dituliskan puluhan pejabat tinggi negara, antara lain Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, Menko Ekuin Aburizal Bakrie, Menko Kesra Alwi Sihab, Menkumham Yusril Ihza Mahendra, Menhut MS Kaban, Menhub Hatta Rajasa, Menakertrans Fahmi Idris, Mensos Bachtiar Hamsah, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita, Mantan Gubernur BI dan Menperdag Rachmat Saleh dan Arifin Siregar.
Juga yang ikut menuliskan Kata Pengantar, adalah mantan Mensesneg Moerdiono, mantan Ketua MPR Amin Rais, mantan Menteri Agama dan DPS Bank Muamalat Quraish Shihab serta DPS lainnya KH Ali Yafie, mantan Komisaris Bank Muamalat Abbas Adhar, M. Amin Aziz, Amir Rajab Batubara, Sukamdani Sahid Gitasarjana, Ketua Umum ICMI, Ketua Umum MUI, dan tokoh-tokoh nasional lain seperti Din Syamsuddin, Tutty Alawiyah, dan Yudho Purnomo.
Masih banyak lagi tokoh bangsa yang terlibat dalam proses pendirian Bank Muamalat.
Bank Muamalat adalah produk, legacy, peninggalan, dan bagian sangat penting dari sejarah bangsa dan penumbuhan ekonominya, dari seorang Presiden RI, Soeharto, yang tegas mengambil alih perwujudan pengoperasian Bank Syariah pertama di Indonesia, sebagai Pemrakarsa Utama.
Pengambilalihan bagian penting proses pendirian Bank Muamalat dinyatakan sendiri dengan tegas oleh Presiden Soeharto, setelah MUI mencetuskan gagasan, dan ICMI menjadi motor penggerak proses dan pendirian bank ini pada tahun 1990, 1991 hingga awal 1992. Ketika itu Pengurus MUI dan Ketua Umum ICMI BJ Habibie melaporkan dan meminta perhatian Presiden dalam proses yang tidak mudah dilakukan tanpa keterlibatan langsung Kepala Negara RI.
Penegasan dan keterlibatan penuh Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Soedharmono sebagai Pemrakarsa Utama pendirian Bank Muamalat telah memungkinkan kelahiran Bank Syariah pertama di persada pertiwi. Sebagai legacy dari Presiden RI pada ketika itu ia tidak dapat dipungkiri dan harus dilestarikan.
Adalah juga sebuah keharusan untuk kita melestarikan setiap perwujudan kebijakan penting yang merupakan legacy Presiden, sebagai sebuah produk tidak biasa yang dihasilkan bagi kemajuan Bangsa dan Negara, termasuk di dalamnya pemindahan Ibukota Negara oleh Presiden Joko Widodo.
Di samping itu, Presiden telah mendeklarasikan pada peluncuran Master Plan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 di Bappenas pada 15 Mei 2019, untuk menjadikan Indonesia sebagai Pusat Ekonomi Syariah Terkemuka di Dunia.
Dalam hal ini Bank Muamalat sebagai Bank Syariah pertama di Indonesia yang kemudian diikuti dengan pendirian berbagai lembaga keuangan syariah, akan semakin diperkuat dengan prakarsa langsung dari Presiden Joko Widodo, agar proses pencapaian Indonesia sebagai Pusat Ekonomi Syariah Terkemuka di Dunia dapat berjalan mulus elegan.
Lantas , apa yang seyogianya diharapkan dari Presiden Joko Widodo dalam hal penyelamatan Bank Muamalat?
Pendirian Bank Muamalat 1 November 1991 dan pengoperasiannya 6 bulan kemudian bisa dikatakan tidak sepenuhnya mengikuti ketentuan UU Perbankan yang berlaku ketika itu, tetapi atas "perkenan dan persetujuan penuh" Presiden Soeharto.
Baru beberapa bulan kemudian dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang menyediakan koridor hukum atas pengoperasian Bank Syariah pertama tersebut, tetapi masih bersifat "tambalan-sulaman" pada UU Perbankan (konvensional) yang ada.
Pertimbangan hukum didirikannya Bank Muamalat antara lain deregulasi di sektor perbankan yaitu Paket 1 Juni 1983 yang membebaskan bank-bank untuk menetapkan sendiri tingkat bunganya walaupun 0% (nol persen) sekalipun. Di samping itu, Paket 27 Oktober 1988 (PAKTO 88).
Izin Prinsip Pengoperasioan Bank Muamalat 1 Mei 1992 adalah atas dasar UU 7/1992 tentang Perbankan. Pengaturan hukum atas pengoperasian Bank Syariah baru keluar 16 tahun setelah Bank Muamalat beroperasi yaitu UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah.
Dengan pemaparan tersebut di atas tidak dimaksudkan Presiden Joko Widodo menyelamatkan Bank Muamalat tanpa landasan hukum perbankan yang berlaku. Sangat diharapkan Presiden Joko Widodo berkenan menjadi Pemrakarsa Utama dalam penyelamatan bank ini atas semua pertimbangan tersebut di atas, seperti halnya Presiden Soeharto sebagai Pemrakarsa Utama dalam pendirian Bank Muamalat 28 tahun yang lalu.
Antara lain dengan melaksanakan Acara Pengundangan Umat Islam Indonesia plus aghnia dan korporasi dari 137 pemegang saham pendiri Bank Muamalat plus korporasi yang belum sebagai pemegang saham untuk membeli saham dalam portepel Bank Muamalat, dengan mengambil tempat di Istana Negara Jakarta. Semua ini dalam upaya meningkatkan permodalan Bank Muamalat.
Dalam pada itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan menentukan angka minimum penambahan setoran modal Bank Muamalat yang diharapkan dapat tercapai dari penjualan saham di Istana Negara tersebut.
Kekurangan total tambahan setoran modal, baru diharapkan dari BUMN dan HIMBARA dengan petunjuk Presiden Joko Widodo, seperti halnya yang dilakukan Presiden Soeharto 28 tahun yang lalu.
Dalam kondisi finansial Bank Muamalat yang menurun, hingga saat ini hanya ada satu calon investor penyertaan modal sebesar Rp 2 triliun yang telah menyampaikan komitmennya, yakni Al Falah Grup Ilham Habibie.
Pada proses pendirian Bank Muamalat tahun 1991, adalah Presiden Soeharto yang “menggiring” korporasi besar swasta yang memiliki anggota Direksi beragama Islam untuk membeli saham Bank Muamalat dalam jumlah signifikan. Tanpa “hak prerogatif” yang digunakan oleh Presiden Soeharto dalam hal itu, tidak akan mungkin terjadi penyetoran saham pertama di Hotel Sahid Jaya pada Oktober 1991 mencapai jumlah Rp 84 miliar.
Tanpa menempatkan dirinya sebagai Pemrakarsa Utama, adalah tidak mungkin Penjualan Saham Perdana Bank Muamalat dapat terjadi di Istana Presiden Bogor pada Minggu 3 November 1991.
Presiden Soeharto telah memerintahkan Gubernur S. Yogi Memet dan Wakil Gubernur Ukman Sutaryan melaksanakan perhelatan besar ini, yang menghasilkan penambahan setoran modal masyarakat Jawa Barat sebesar Rp 20 miliar.
Adalah Presiden Soeharto juga yang memberikan “petunjuk” empat gelombang jamaah haji: 600 orang jamaah, masing-masingnya membeli 10 lembar saham Bank Muamalat (@ Rp 1.000) menambahkan modal setor Bank Muamalat Rp 6 juta pada tahun haji 1992, 1993, 1994, dan 1995.
Dalam posisi Presiden Joko Widodo sebagai Presiden ke-7 RI, sebagai Pemrakarsa Utama Penyelamatan Bank Muamalat untuk melestarikan legacy Presiden RI-2, Soeharto, sebagai Pemrakarsa Utama dalam pendirian Bank Muamalat, diharapkan kepemilikan Umat Islam Indonesia atas bank ini yang telah menurun ke 16%, dengan IsDB, SEDCO Saudi Arabia dan Buoybian Bank Kuwait sebagai pemegang saham asing dan terbesar, kembali dalam jumlah signifikan berada di tangan Umat Islam Indonesia.
Hal ini akan mewujudkan Visi Presiden ke-7 RI menjadikan Indonesia sebagai Pusat Ekonomi Syariah Terkemuka di Dunia pada tahun 2030.
Wallahu a’lam bissawab.
Zainulbahar Noor
Mantan Direktur Utama Bank Muamalat, 1991
0 Response to "Solusi Penyelamatan Bank Muamalat dari Mantan Dubes RI di Yordania yang Pernah Jadi Kader Partai Bulan Bintang"
Posting Komentar