Pidato Presiden Kolombia Gustavo Petro di Majelis Umum PBB mengguncang forum diplomatik dunia. Dengan lantang, ia menyebut apa yang terjadi di Gaza sebagai genosida. Ini menegaskan bahwa kejahatan kemanusiaan semacam itu adalah bentuk terorisme yang tak boleh dibiarkan. Pidato ini mendapat sambutan luas, terutama dari negara-negara yang selama ini menyerukan keadilan bagi Palestina.
Dengan pidato ini, Kolombia menekankan bahwa genosida bukan sekadar konflik bersenjata, melainkan kejahatan yang menyasar rakyat sipil tak berdosa. Ribuan korban di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menjadi bukti nyata bahwa dunia tidak bisa menutup mata. Baginya, genosida adalah terorisme negara, dan harus dikutuk dengan tegas tanpa kompromi.
Narasi yang dibangun Kolombia menembus batas diplomasi biasa. Ia menyebut bahwa mendukung genosida sama dengan ikut menyebarkan ideologi terorisme. Pesannya jelas: negara-negara yang bersimpati atau bahkan memberikan dukungan politik dan militer kepada rezim Benjamin Netanyahu di Gaza bisa dikatakan ikut terpapar ideologi teroris.
Sikap keras ini memicu diskusi global. Dunia diminta untuk menilai ulang bagaimana standar ganda diterapkan. Ketika kelompok non-negara melakukan kekerasan, mereka cepat dicap teroris. Namun, saat sebuah negara melakukan penghancuran sistematis terhadap rakyat lain, istilah itu sering kali menghilang. Petro menantang logika hipokrit ini.
Beberapa kepala negara yang jelas terlihat berada di sisi Netanyahu antara lain Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak, Kanselir Jerman Olaf Scholz, serta Presiden Prancis Emmanuel Macron sebelum akhirnya mengakui Palestina sebagai negara. Mereka tidak hanya bersimpati, tetapi juga memberikan dukungan militer dan politik yang memperpanjang penderitaan rakyat Gaza.
Di antara mereka, Amerika Serikat terlihat paling dominan. Pemerintahan Biden berkali-kali memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata. Dukungan finansial dan senjata kepada Israel menjadikan Washington dianggap sebagai sponsor utama genosida dan terorisme Israel kepada warga Gaza di Palestina.
Jerman, dengan alasan sejarah, juga berdiri teguh mendukung Israel meskipun banyak pihak mengingatkan bahwa dukungan buta terhadap Netanyahu justru menjerumuskan Jerman ke posisi yang bertentangan dengan hukum internasional. Kanselir Olaf Scholz berkali-kali menolak menyebut Israel bersalah, meski bukti pelanggaran HAM semakin menumpuk.
Prancis dan Inggris, sebagai dua kekuatan lama di Eropa, juga menempuh garis serupa. Emmanuel Macron berbicara tentang pentingnya perlindungan sipil, tetapi tetap mengizinkan penjualan senjata ke Israel. Sementara Rishi Sunak tak segan menyatakan “solidaritas penuh” kepada Netanyahu, walau laporan tentang penderitaan rakyat Gaza membanjiri media global.
Selain mereka, ada pula negara-negara lain yang menolak mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Australia, Kanada, serta sebagian negara Eropa Timur memilih berdiri di jalur yang sama dengan Washington dan Tel Aviv. Sikap ini mempertegas bahwa mereka tidak hanya menolak pengakuan, tetapi juga menutup pintu diplomasi damai dan mendorong aksi genosids dan terorisme Israel.
Bagi Kolombia, semua ini adalah bukti bahwa genosida sedang dilegalkan oleh sebagian elite dunia. Mereka yang memberikan simpati atau membenarkan tindakan Israel berarti ikut menyebarkan ideologi teroris. Narasi ini mengubah peta diplomasi, sebab untuk pertama kalinya seorang kepala negara secara terbuka mengaitkan genosida dengan terorisme negara.
Reaksi dari dunia Arab dan negara-negara Global South menunjukkan dukungan moral yang kuat. Banyak diplomat memuji keberanian Presiden Kolombia. Mereka menilai bahwa suara lantang semacam ini diperlukan untuk memecahkan kebekuan PBB yang selama ini kerap dibungkam veto negara adidaya.
Bagi rakyat Palestina, pernyataan Petro menjadi angin segar. Dukungan terbuka dari pemimpin Amerika Latin mengingatkan bahwa perjuangan mereka bukan hanya urusan kawasan Timur Tengah, tetapi juga masalah kemanusiaan global. Gaza kini menjadi simbol perlawanan terhadap terorisme negara yang disamarkan dengan dalih keamanan.
Narasi Petro juga menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana dunia mendefinisikan terorisme? Jika pembantaian massal terhadap sipil tak bersenjata tidak termasuk, maka definisi itu harus diubah. Di sinilah suara Kolombia menjadi penting, mendorong dunia internasional untuk berani menggunakan istilah yang tepat.
Tidak bisa dipungkiri, negara-negara yang terus mendukung Netanyahu kini berada dalam sorotan. Dukungan mereka dinilai bukan hanya politik praktis, tetapi juga pembenaran atas kejahatan. Jika genosida adalah terorisme, maka mereka adalah bagian dari rantai ideologi teroris.
Petro tidak sendirian. Beberapa pemimpin lain, termasuk Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, juga lantang menyuarakan hal serupa. Namun, keberanian Petro menyebut genosida secara eksplisit di forum PBB memberi bobot lebih besar.
Sejumlah analis menyebut bahwa dunia kini memasuki fase baru dalam diplomasi Palestina. Dukungan tanpa syarat kepada Israel semakin dipandang berbahaya, bukan hanya bagi rakyat Palestina, tetapi juga bagi kredibilitas hukum internasional.
Jika PBB benar-benar ingin menjalankan mandatnya, genosida di Gaza harus segera dihentikan. Dukungan Kolombia menjadi salah satu suara moral yang mendesak lembaga dunia untuk tidak lagi diam.
Bagi sejarah, pidato Petro bisa dikenang sebagai titik balik. Dunia akan melihat apakah komunitas internasional memilih keberpihakan pada kemanusiaan atau tetap terjebak pada politik kepentingan yang melindungi genosida.
Akhirnya, suara Kolombia bukan hanya membela Palestina, tetapi juga membela prinsip dasar kemanusiaan. Dukungan ini menjadi penegasan bahwa genosida adalah terorisme, dan siapa pun yang mendukungnya, dengan sadar atau tidak, telah ikut menebarkan ideologi teroris di panggung global.
0 Komentar